Jumat, 08 Februari 2008
Officials using 'backroom deals' to tackle corruption
Neraka di Bukit Mangan
Minggu, 03 Februari 2008
Korem Flores:Wakil rakyat gagal dan Reformasi TNI ke titik nol
Korem Flores:
Wakil rakyat gagal dan
reformasi TNI ke titik nol
Oleh Y Peka Wisok
TULISAN Eman J Embu (Pos Kupang 25/9/2007) menarik perhatian dan urgen untuk disimak. Sekurang-kurangnya ada dua alinea yang mengundang saya di kejauhan untuk memberi komentar. Komentar ini merupakan apresiasi saya terhadap keseluruhan tulisan berjudul ‘Korem Flores: Banyak pertanyaan belum terjawab’.
Pertama, alinea kedua dari belakang. Tentu saja, tentang rencana pembentukan Korem di Flores banyak keanehan dan pertanyaan belum terjawab. Seorang sahabat yang kini menjadi guest professor di Melbourne, Australia ketika mengetahui bahwa sejumlah orang yang disebut tokoh masyarakat Nagekeo yang dipimpin oleh Kornelis Soi, anggota DPRD Nusa Tenggara Timur dari F-PDI Perjuangan mendesak agar Korem segera dibuka di Nagekeo kepada Danrem 161/Wirasakti di Kupang beberapa waktu yang lalu menulis: "Saya masih di Melbourne, tapi suka ikut perkembangan di Flores. Banyak unsur yang aneh. Misalnya, 14 pemuda Nagekeo minta supaya Korem didirikan di sana, dan langsung Kupang setuju. Seandainya 14 pastor dari Ledalero minta supaya Korem TIDAK didirikan di Flores, apakah Kupang akan dengar dan bertindak dengan begitu cepat?"
Dari data yang ada disebutkan 14 pemuda Nagekeo minta supaya Korem didirikan di sana. Ke 14 pemuda tersebut dipimpin oleh Kornelis Soi, anggota DPRD Nusa Tenggara Timur dari F-PDI Perjuangan. Dari data ini muncul pertanyaan ke 14 pemuda tersebut identik dengan orang Flores atau orang-orangan Flores? Sebab saat ini dengan berbekal KTP yang bisa diperoleh dengan cepat dan menetap sehari di suatu tempat pun bisa mengakui dirinya berasal dari daerah tersebut. Kalaulah betul bahwa 14 orang itu orang Nagekeo yang mempunyai hak untuk menghadirkan Korem di Nagekeo, lalu apakah betul bahwa orang Nagekeo itu hanya 14 orang tersebut? Atau kalau mereka memang sungguh orang Flores, lalu apakah mereka mempunyai kewenangan mewakili seluruh orang Flores untukmenghadirkan Korem di Flores?
Kalau betul bahwa demokrasi sungguh ditegakkan di negara republik ini, maka sesama orang Flores pun bisa berbeda pendapat. Hanya saja perbedaan pendapat jangan sampai terjadi karena dibenturkan oleh pihak lain. Sangat disayangkan bahwa di waktu yang belum terlalu lama sudah terjadi penolakan hadirnya Korem di Flores, tapi kok saat-saat ini terdengar orang begitu gampang mengiyakan hadirnya Korem. Apakah sudah ada survai dan penelitian yang membuktikan bahwa tingkat instabilitas di Flores begitu tinggi-tingginya, sehingga ke 14 orang begitu antusiasnya mau menjadi pahlawan demi keamanan bumi Flores?
Jangankan ke 14 orang pemuda tersebut yang berinisiatif! Pimpinan rombongan seperti yang disebutkan Eman J Embu adalah Kornelis Soi, seorang anggota DPRD Nusa Tenggara Timur dari F-PDI Perjuangan. Data ini menunjukkan DPRD gagal mewakili rakyatnya! Apalagi dari Fraksi PDI Perjuangan! Sebab sejauh saya pahami PDIP ini selalu menyebut dirinya partai ‘wong cilik’. Partai yang menjadikan nasib rakyat kecil sebagai isu utama perjuangannya, kok tega-teganya memimpin rombongan mendesak Danrem 161/Wirasakti di Kupang agar Korem segera dihadirkan di Nagekeo? Pertanyaan lebih lanjut adalah anggota Fraksi PDI-P ini melakukan tindakan tersebut sebagai inisiatif pribadi atau instruksi partai? Bila ini merupakan instruksi partai atau inisiatif pribadi sekalipun, tindakan tersebut bermuara pada likuidasi perjuangan partai dari dalam sedang berlangsung. Dewan Pimpinan Daerah PDIP NTT segera memberi klarifikasi. Sebab bukankah jiwa perjuangan PDIP adalah marhenisme?
Dari kondisi empiris tindakan 14 orang tersebut dan anggota FPDI Perjuangan ini bisa tergambar bahwa di alam reformasi ini tampil di tengah masyarakat kelompok-kelompok yang cenderung mengatasnamakan rakyat. Demikian juga anggota DPRD cenderung terjebak pada isu parsial yang menjurus ke kepentingan sesaat. Betapa hebat kalau 14 orang dapat menyamakan diri dengan keseluruhan masyarakat Nagekeo atau Flores pada umumnya. Dan hebat benar kalau seorang anggota DPRD yang adalah wakil rakyat merasa berhasil menjadi wakil rakyat karena mampu menyuarakan keinginan 14 orang. Adalah bijak bila seorang wakil rakyat dalam perjuangannya senantiasa mengedepankan nasib rakyat banyak dan bukan kepentingan dirinya atau pihak yang dapat memberikan keuntungan bagi dirinya.
Kedua, alinea keempat dari belakang.
Kalau soal NTT yang akan dikonflikkan seperti Ambon dan Poso sebagaimana yang disinyalir oleh TNI baru-baru ini, terlepas dari alasan sinyalir itu nyata atau isapan jempol belaka, bukankah urusan ketertiban dan keamanan warga itu adalah tanggung jawab aparat kepolisian, dan karenanya profesionalisme polisilah yang harus ditingkatkan? Mengapa tentara? Mengapa Korem? Apakah betul kehadiran tentara dalam jumlah banyak, dengan kulturnya seperti yang kita tahu selama ini, identik dengan terciptanya keamanan?
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Eman J Embu di atas membuat saya teringat akan lelucon yang pernah diceritakan seorang teman saya dari Singapura ketika bertemu di sebuah seminar di Perpustakaan Nasional Jakarta. Demikian katanya, kalau di Amerika begitu terjadi kerusahan sosial pihak keamanan selalu datang tepat pada waktunya untuk mengamankan. Sedangkan di Philipina, katanya bila terjadi kerusuhan sosial pihak keamanan selalu saja datang terlambat. Lain di negeri saya Singapura, katanya, di sana tatkala terjadi kerusuhan sosial pihak keamanan selalu sudah ada di sana. Jangankan begitu terjadi kerusahan, sebelum kerusuhan pun mereka sudah ada, katanya menambahkan. Kira-kira demikian kisahnya.
Cerita ini sudah cukup lama, sehingga mohon maaf bila tidak utuh. Akan tetapi dari guyon ini bisa ditangkap sekurang-kurangnya dua sinyal. Pertama, andai diasumsikan bahwa di setiap daerah di Indonesia selalu saja ada musuh yang senantiasa mengancam kelangsungan hidup rakyat, maka pihak keamanan apakah itu TNI atau Polri wajib ada di tengah masyarakat adalah sebuah keniscayaan tak terbantahkan. Tetapi, kedua, andai diasumsikan bahwa justru dengan kehadiran pihak keamanan apakah itu TNI atau Polri justru membuat tidak aman kehidupan rakyat di setiap daerah, mengapa kita hadirkan aparat negara semacam itu di tengah masyarakat?
Tanpa bermaksud menolak kehadiran lembaga keamanan TNI dan Polri di daerah mana pun di Indonesia, adalah bijak bahwa sebuah kebijakan menghadirkan lembaga kemanan tersebut diawali dengan kajian ilmiah obyektif, akuntabel dan transparan. Masyarakat sudah tidak bodoh lagi, kecuali dibodoh-bodohin atau dipaksa. Mengapa? Sebuah kebijakan yang dibuat otoritas publik baik sipil maupun militer yang tentu saja kebijakan itu berdampak pada kepentingan publik, maka adalah bijak jika kebijakan itu jangan diambil dengan dasar pada asumsi belaka melainkan berpijak pada sebuah akurasi data dengan orientasi kepentingan umum yang transparan.
Perlu diingat bahwa sebuah kebijakan berorientasi kepentingan umum, maka kebijakan tersebut hendaknya bersumber dari masyarakat. Sebab masyarakatlah yang mempunyai kewenangan tersebut. Bahwasannya kewenangan diemban sejumlah orang yang terpilih menjadi pejabat publik semua kita sadari, hanya saja jangan sampai kewenangan itu digunakan untuk melahirkan kebijakan yang ternyata menjadi bumerang bagi masyarakat sendiri yang adalah yang empunya kewenangan itu maka itu merupakan sebuah kekonyolan yang dengan sengaja merampas hak kedaulatan atau otonomi diri.
Maka dari awal, siapa pun kita selaku rakyat hendaknya sadar bahwa hak kita jangan sekali-kali diwakili oleh segelintir orang. Banyak orang-sesama rakyat cenderung bertindak atas nama rakyat, tetapi ternyata yang diperjuangkan adalah kepentingannya sendiri. Jangankan sesama-rakyat, para wakil rakyat sajanyata-nyata masih sibuk memperjuangan kepentingan diri sendiri. Coba ingat kembali sejumlah berita tentang penetapan aturan daerah menyangkut kesejahteraan anggota DPRD berupa tunjangan purna bakti, kealpaan DPRD NTT mem-back-up pengusutan penyimpangan dana sarkes, memperjuangkan berdirinya sejumlah daerah otonomi baru tetapi kantor bupati dan kantor-kantor dinas hampir tak punya, dan ingat sampai hari ini pun Asrama NTT di Bandung belum diurus, hanya sejauh ini sejumlah kasak-kusuk terdengar bahwa asrama sudah terjual. Di manakah peran wakil rakyat? Bila hanya berjuang untuk kepentingan sesaat, maka sebenarnya para wakil rakyat sedang menabur kegagalan. Lalu apa yang harus dipanen?
Selanjutnya perlu diingat, bahwa kita tetap mencintai lembaga keamanan di negeri ini baik itu TNI maupun Polri. Ketika setiap rakyat memberi komentar atas sebuah kebijakan keamanan dengan menghadirkan Korem, Danrem dari TNI atau Polsek, Polres atau apalah namanya di tengah masyarakat itu tidak identik dengan rakyat tidak mencintai lembaga keamanan. Justru malah sebaliknya, dengan adanya keterbukaan di era reformasi ini rakyat bisa mengkritisi setiap kebijakan yang berdampak publik, termasuk kebijakan keamanan. Hendaknya pihak lembaga keamanan perlu lebih obyektif dan transparan. Bila tidak demikian, maka jangan sampai lembaga-lembaga keamanan justru masih berada di titik nol di alam reformasi ini. *