Jumat, 08 Februari 2008
Officials using 'backroom deals' to tackle corruption
Neraka di Bukit Mangan
Minggu, 03 Februari 2008
Korem Flores:Wakil rakyat gagal dan Reformasi TNI ke titik nol
Korem Flores:
Wakil rakyat gagal dan
reformasi TNI ke titik nol
Oleh Y Peka Wisok
TULISAN Eman J Embu (Pos Kupang 25/9/2007) menarik perhatian dan urgen untuk disimak. Sekurang-kurangnya ada dua alinea yang mengundang saya di kejauhan untuk memberi komentar. Komentar ini merupakan apresiasi saya terhadap keseluruhan tulisan berjudul ‘Korem Flores: Banyak pertanyaan belum terjawab’.
Pertama, alinea kedua dari belakang. Tentu saja, tentang rencana pembentukan Korem di Flores banyak keanehan dan pertanyaan belum terjawab. Seorang sahabat yang kini menjadi guest professor di Melbourne, Australia ketika mengetahui bahwa sejumlah orang yang disebut tokoh masyarakat Nagekeo yang dipimpin oleh Kornelis Soi, anggota DPRD Nusa Tenggara Timur dari F-PDI Perjuangan mendesak agar Korem segera dibuka di Nagekeo kepada Danrem 161/Wirasakti di Kupang beberapa waktu yang lalu menulis: "Saya masih di Melbourne, tapi suka ikut perkembangan di Flores. Banyak unsur yang aneh. Misalnya, 14 pemuda Nagekeo minta supaya Korem didirikan di sana, dan langsung Kupang setuju. Seandainya 14 pastor dari Ledalero minta supaya Korem TIDAK didirikan di Flores, apakah Kupang akan dengar dan bertindak dengan begitu cepat?"
Dari data yang ada disebutkan 14 pemuda Nagekeo minta supaya Korem didirikan di sana. Ke 14 pemuda tersebut dipimpin oleh Kornelis Soi, anggota DPRD Nusa Tenggara Timur dari F-PDI Perjuangan. Dari data ini muncul pertanyaan ke 14 pemuda tersebut identik dengan orang Flores atau orang-orangan Flores? Sebab saat ini dengan berbekal KTP yang bisa diperoleh dengan cepat dan menetap sehari di suatu tempat pun bisa mengakui dirinya berasal dari daerah tersebut. Kalaulah betul bahwa 14 orang itu orang Nagekeo yang mempunyai hak untuk menghadirkan Korem di Nagekeo, lalu apakah betul bahwa orang Nagekeo itu hanya 14 orang tersebut? Atau kalau mereka memang sungguh orang Flores, lalu apakah mereka mempunyai kewenangan mewakili seluruh orang Flores untukmenghadirkan Korem di Flores?
Kalau betul bahwa demokrasi sungguh ditegakkan di negara republik ini, maka sesama orang Flores pun bisa berbeda pendapat. Hanya saja perbedaan pendapat jangan sampai terjadi karena dibenturkan oleh pihak lain. Sangat disayangkan bahwa di waktu yang belum terlalu lama sudah terjadi penolakan hadirnya Korem di Flores, tapi kok saat-saat ini terdengar orang begitu gampang mengiyakan hadirnya Korem. Apakah sudah ada survai dan penelitian yang membuktikan bahwa tingkat instabilitas di Flores begitu tinggi-tingginya, sehingga ke 14 orang begitu antusiasnya mau menjadi pahlawan demi keamanan bumi Flores?
Jangankan ke 14 orang pemuda tersebut yang berinisiatif! Pimpinan rombongan seperti yang disebutkan Eman J Embu adalah Kornelis Soi, seorang anggota DPRD Nusa Tenggara Timur dari F-PDI Perjuangan. Data ini menunjukkan DPRD gagal mewakili rakyatnya! Apalagi dari Fraksi PDI Perjuangan! Sebab sejauh saya pahami PDIP ini selalu menyebut dirinya partai ‘wong cilik’. Partai yang menjadikan nasib rakyat kecil sebagai isu utama perjuangannya, kok tega-teganya memimpin rombongan mendesak Danrem 161/Wirasakti di Kupang agar Korem segera dihadirkan di Nagekeo? Pertanyaan lebih lanjut adalah anggota Fraksi PDI-P ini melakukan tindakan tersebut sebagai inisiatif pribadi atau instruksi partai? Bila ini merupakan instruksi partai atau inisiatif pribadi sekalipun, tindakan tersebut bermuara pada likuidasi perjuangan partai dari dalam sedang berlangsung. Dewan Pimpinan Daerah PDIP NTT segera memberi klarifikasi. Sebab bukankah jiwa perjuangan PDIP adalah marhenisme?
Dari kondisi empiris tindakan 14 orang tersebut dan anggota FPDI Perjuangan ini bisa tergambar bahwa di alam reformasi ini tampil di tengah masyarakat kelompok-kelompok yang cenderung mengatasnamakan rakyat. Demikian juga anggota DPRD cenderung terjebak pada isu parsial yang menjurus ke kepentingan sesaat. Betapa hebat kalau 14 orang dapat menyamakan diri dengan keseluruhan masyarakat Nagekeo atau Flores pada umumnya. Dan hebat benar kalau seorang anggota DPRD yang adalah wakil rakyat merasa berhasil menjadi wakil rakyat karena mampu menyuarakan keinginan 14 orang. Adalah bijak bila seorang wakil rakyat dalam perjuangannya senantiasa mengedepankan nasib rakyat banyak dan bukan kepentingan dirinya atau pihak yang dapat memberikan keuntungan bagi dirinya.
Kedua, alinea keempat dari belakang.
Kalau soal NTT yang akan dikonflikkan seperti Ambon dan Poso sebagaimana yang disinyalir oleh TNI baru-baru ini, terlepas dari alasan sinyalir itu nyata atau isapan jempol belaka, bukankah urusan ketertiban dan keamanan warga itu adalah tanggung jawab aparat kepolisian, dan karenanya profesionalisme polisilah yang harus ditingkatkan? Mengapa tentara? Mengapa Korem? Apakah betul kehadiran tentara dalam jumlah banyak, dengan kulturnya seperti yang kita tahu selama ini, identik dengan terciptanya keamanan?
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Eman J Embu di atas membuat saya teringat akan lelucon yang pernah diceritakan seorang teman saya dari Singapura ketika bertemu di sebuah seminar di Perpustakaan Nasional Jakarta. Demikian katanya, kalau di Amerika begitu terjadi kerusahan sosial pihak keamanan selalu datang tepat pada waktunya untuk mengamankan. Sedangkan di Philipina, katanya bila terjadi kerusuhan sosial pihak keamanan selalu saja datang terlambat. Lain di negeri saya Singapura, katanya, di sana tatkala terjadi kerusuhan sosial pihak keamanan selalu sudah ada di sana. Jangankan begitu terjadi kerusahan, sebelum kerusuhan pun mereka sudah ada, katanya menambahkan. Kira-kira demikian kisahnya.
Cerita ini sudah cukup lama, sehingga mohon maaf bila tidak utuh. Akan tetapi dari guyon ini bisa ditangkap sekurang-kurangnya dua sinyal. Pertama, andai diasumsikan bahwa di setiap daerah di Indonesia selalu saja ada musuh yang senantiasa mengancam kelangsungan hidup rakyat, maka pihak keamanan apakah itu TNI atau Polri wajib ada di tengah masyarakat adalah sebuah keniscayaan tak terbantahkan. Tetapi, kedua, andai diasumsikan bahwa justru dengan kehadiran pihak keamanan apakah itu TNI atau Polri justru membuat tidak aman kehidupan rakyat di setiap daerah, mengapa kita hadirkan aparat negara semacam itu di tengah masyarakat?
Tanpa bermaksud menolak kehadiran lembaga keamanan TNI dan Polri di daerah mana pun di Indonesia, adalah bijak bahwa sebuah kebijakan menghadirkan lembaga kemanan tersebut diawali dengan kajian ilmiah obyektif, akuntabel dan transparan. Masyarakat sudah tidak bodoh lagi, kecuali dibodoh-bodohin atau dipaksa. Mengapa? Sebuah kebijakan yang dibuat otoritas publik baik sipil maupun militer yang tentu saja kebijakan itu berdampak pada kepentingan publik, maka adalah bijak jika kebijakan itu jangan diambil dengan dasar pada asumsi belaka melainkan berpijak pada sebuah akurasi data dengan orientasi kepentingan umum yang transparan.
Perlu diingat bahwa sebuah kebijakan berorientasi kepentingan umum, maka kebijakan tersebut hendaknya bersumber dari masyarakat. Sebab masyarakatlah yang mempunyai kewenangan tersebut. Bahwasannya kewenangan diemban sejumlah orang yang terpilih menjadi pejabat publik semua kita sadari, hanya saja jangan sampai kewenangan itu digunakan untuk melahirkan kebijakan yang ternyata menjadi bumerang bagi masyarakat sendiri yang adalah yang empunya kewenangan itu maka itu merupakan sebuah kekonyolan yang dengan sengaja merampas hak kedaulatan atau otonomi diri.
Maka dari awal, siapa pun kita selaku rakyat hendaknya sadar bahwa hak kita jangan sekali-kali diwakili oleh segelintir orang. Banyak orang-sesama rakyat cenderung bertindak atas nama rakyat, tetapi ternyata yang diperjuangkan adalah kepentingannya sendiri. Jangankan sesama-rakyat, para wakil rakyat sajanyata-nyata masih sibuk memperjuangan kepentingan diri sendiri. Coba ingat kembali sejumlah berita tentang penetapan aturan daerah menyangkut kesejahteraan anggota DPRD berupa tunjangan purna bakti, kealpaan DPRD NTT mem-back-up pengusutan penyimpangan dana sarkes, memperjuangkan berdirinya sejumlah daerah otonomi baru tetapi kantor bupati dan kantor-kantor dinas hampir tak punya, dan ingat sampai hari ini pun Asrama NTT di Bandung belum diurus, hanya sejauh ini sejumlah kasak-kusuk terdengar bahwa asrama sudah terjual. Di manakah peran wakil rakyat? Bila hanya berjuang untuk kepentingan sesaat, maka sebenarnya para wakil rakyat sedang menabur kegagalan. Lalu apa yang harus dipanen?
Selanjutnya perlu diingat, bahwa kita tetap mencintai lembaga keamanan di negeri ini baik itu TNI maupun Polri. Ketika setiap rakyat memberi komentar atas sebuah kebijakan keamanan dengan menghadirkan Korem, Danrem dari TNI atau Polsek, Polres atau apalah namanya di tengah masyarakat itu tidak identik dengan rakyat tidak mencintai lembaga keamanan. Justru malah sebaliknya, dengan adanya keterbukaan di era reformasi ini rakyat bisa mengkritisi setiap kebijakan yang berdampak publik, termasuk kebijakan keamanan. Hendaknya pihak lembaga keamanan perlu lebih obyektif dan transparan. Bila tidak demikian, maka jangan sampai lembaga-lembaga keamanan justru masih berada di titik nol di alam reformasi ini. *
Sabtu, 12 Januari 2008
PESAN NATAL BERSAMA KWI-PGI 2007
PESAN NATAL BERSAMA
PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA
DAN
KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA
2007
“HIDUPLAH DENGAN BIJAKSANA, ADIL, DAN BERIBADAH”
(bdk. Titus 2:12)
Kepada segenap umat Kristiani Indonesia di mana pun berada,
salam sejahtera dalam Kasih Tuhan kita Yesus Kristus.
1. Dalam suasana sukacita Natal yang menyinggahi ruang-ruang kehidupan, kita mengucap syukur kepada Allah atas kelahiran Yesus Kristus, Juruselamat kita, karena dalam Dialah “kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata” (Titus 2:11). Kristus datang ke dunia supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16). Kasih karunia Allah yang tampak dalam diri Yesus Kristus itu pertama-tama membuat kita sanggup meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi (Titus 2:12), lalu mendidik kita untuk “hidup bijaksana, adil dan beribadah” (Titus 2:12).
Kasih karunia Allah itu mendidik kita untuk menjadi bijaksana dan penuh penguasaan diri. Kita telah dipanggil untuk mengikuti Kristus dan telah menyatakan kesediaan untuk mengikuti-Nya. Dalam setiap saat dan kesempatan, kita diajar mendengarkan firman Allah dan hidup sesuai dengan firman itu, seperti Kristus sendiri hidup dalam ketaatan penuh kepada Bapa.
Kebijaksanaan Kristiani ini haruslah memancar dalam hubungan dengan sesama. Dalam diri Anak-Nya Allah memberikan keselamatan kepada semua manusia, tanpa memandang suku, status sosial, dan agama. Allah menjadi manusia untuk menebusnya dari segala cela dan dosanya. Seperti Allah mengasihi semua orang, kita pun dipanggil untuk mengasihi sesama manusia, lebih-lebih sesama yang dipertemukan oleh Allah dengan kita dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Ketika kita mengasihi sesama tanpa memandang suku, agama, dan status sosial, maka kita telah berlaku adil. Kita telah menerima kasih dari Allah, dan Allah menghendaki agar kita mampu membawa kasih itu kepada sesama.
Kehendak Allah hanya dapat kita mengerti bila kita sendiri memiliki hubungan yang akrab dengan-Nya. Dalam ibadah yang kita lakukan, kita mendengarkan firman Allah, merayakan karya penyelamatan Allah, dan membina hubungan dengan Allah. Ibadah yang sejati membawa manusia pada kebahagiaan karena hakikat kehidupan beragama adalah hidup dalam hubungan pribadi dengan Allah dan ikut mengambil bagian dalam karya Allah untuk mengasihi manusia dan dunia.
2. Rakyat telah memilih orang-orang yang dipercaya untuk memperhatikan dan melayani kepentingan umum demi terwujudnya kesejahteraan bersama. Walaupun ada di antara mereka yang dipilih itu justru sibuk mengurusi kepentingan sendiri dan lebih mempedulikan kekuasaan daripada kesejahteraan bersama, tidak bisa disangkal bahwa ada banyak orang yang penuh kesungguhan hati melayani sesama.
Dengan dukungan pemerintah atau dengan usaha sendiri, mereka telah berjuang membantu sesama warga bangsa untuk mencapai kesejahteraan dan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Menurut kemampuan masing-masing, banyak anggota masyarakat, baik secara pribadi maupun dalam kelompok, telah berjuang memajukan pendidikan bagi anak-anak bangsa karena sadar bahwa kemajuan bangsa ini sangat ditentukan oleh pendidikan mereka di masa sekarang.
Kita berusaha dengan tidak henti-hentinya agar seluruh warga bangsa dapat hidup dengan rukun dan damai. Dalam hubungan itu, kita berupaya untuk terus menerus melakukan dialog dengan berbagai kelompok agama dan masyarakat supaya setiap warga dapat menjalankan kehidupan imannya secara lebih penuh tanpa rasa takut dan curiga satu sama lain. Berbagai hambatan dan kesulitan dalam usaha dialog ini telah kita lalui dan tidak perlu membuat kita patah semangat.Kita patut bersyukur oleh karena bangsa kita telah sanggup bertahan menghadapi berbagai bencana yang silih berganti melanda negeri kita. Berbagai bencana itu tidak membuat kita putus asa dan berhenti berusaha. Masih banyak warga bangsa yang turut berbela rasa dan membantu meringankan beban sesama yang ditimpa bencana dan malapetaka sehingga mereka tidak terhimpit dalam penderitaan yang berkepanjangan.
3. Dalam segala usaha untuk memajukan kesejahteraan masyarakat, memajukan pendidikan, dan menciptakan kerukunan itu baiklah kita ingat akan kasih karunia Allah yang telah dinyatakan dalam diri Kristus. Kasih karunia itu telah mendidik kita dan memberi kita kemampuan agar sanggup hidup secara bijaksana, adil, dan beribadah. Untuk mewujudkan hal itu kami mengajak seluruh umat Kristiani Indonesia mewujudkan hal-hal berikut:
· Tekun mendengarkan firman Allah yang tertulis dalam Kitab Suci agar kebijaksanaan ilahi meresapi pikiran dan hati kita. Kita menyadari bahwa kemajuan zaman merupakan tantangan tersendiri bagi kehidupan iman kita. Sebab itu, anak-anak, remaja, dan kaum muda hendaknya sejak dini diajar untuk mendengarkan firman Allah dan menaatinya.
· Tetap melibatkan diri dalam usaha-usaha untuk memajukan kesejahteraan umum dan untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Dengan cara ini, secara nyata kita menjalankan perintah Allah untuk berlaku adil kepada semua orang dan mengasihi sesama tanpa memandang suku, agama, ataupun golongan. Dalam segala usaha ini marilah kita memohon bantuan Tuhan agar Ia menganugerahkan kesejahteraan bagi bangsa kita, kebijaksanaan bagi para pemimpin bangsa kita, dan keamanan bagi negeri kita.
· Terus-menerus menjalankan dengan setia ibadah sejati kepada Allah demi pemantapan iman kepada Tuhan dan menghindarkan diri dari ibadah yang basa-basi. Ibadah sejati tidak dijalankan untuk memamerkan kesalehan tetapi untuk membina hubungan pribadi dengan Allah sehingga benar-benar menghasilkan buah nyata dalam tindakan. Oleh karena itu, hendaknya kita menjauhkan diri dari segala tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah seperti korupsi, penyalahgunaan narkoba, tindak kekerasan, dan sebagainya. Kita dipanggil untuk mengembangkan dan memelihara kebebasan yang bertanggung jawab agar semua warga bangsa dapat menjalankan ibadah dengan leluasa sesuai dengan tatacara agama masing-masing dan kekayaan budaya para pemeluknya.
Akhirnya, marilah kita memohon kebijaksanaan Allah agar kita sanggup memahami firman Allah dan hidup menurut firman itu, sebagaimana Kristus sendiri hidup dalam ketaatan penuh kepada Bapa.
SELAMAT NATAL 2007 DAN TAHUN BARU 2008
Jakarta, Medio November 2007
Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia | Konferensi Waligereja Indonesia |
|
Pdt. Dr. A. A. Yewangoe Ketua Umum Pdt. Dr. Richard M. Daulay Sekretaris Umum | Mgr. Martinus D. Situmorang, O.F.M.Cap. Ketua Mgr. A.M. Sutrisnaatmaka, M.S.F. Sekretaris Jenderal |
|
Selamatkan Bumi Kita Dari Kehancuran
Surat Gembala Para Uskup Kalimantan
Pengrusakan dan kerusakan lingkungan hidup telah menjadi keprihatinan besar karena mengancam kelangsungan kehidupan di bumi ini. Menyikapi keadaan gawat itu, PBB telah berulangkali menyelenggarakan konferensi internasional. Baru-baru ini telah dilangsungkan pertemuan internasional tentang perubahan iklim yang diselenggarakan di Bali pada bulan Desember 2007. Setiap penghuni bumi ini harus menyadari betapa penting dan mendesaknya tindakan nyata untuk menyelamatkan bumi kita dari kehancuran.
Meningkatnya pencemaran air sungai, danau dan laut, tanah dan udara; pembakaran dan kebakaran hutan; pengurasan tambang secara rakus; pengalihan fungsi hutan rakyat dan lahan pertanian; penimbunan sampah di pemukiman padat penduduk, mengakibatkan kemerosotan mutu lingkungan hidup.
Kemerosotan mutu lingkungan hidup mengakibatkan kekacauan musim, kekeringan, banjir dan tanah longsor; musnahnya berbagai jenis hewan dan tumbuhan; pemanasan bumi dan naiknya permukaan air laut, sehingga malapetaka yang dasyat mengancam umat manusia, yaitu kehancuran bumi kita.
Rusaknya lingkungan hidup di tingkat lokal berdampak pada tingkat nasional, internasional, bahkan global. Maka pelestarian dan peningkatan mutu lingkungan hidup di tingkat lokal, bukan hanya bermanfaat bagi kepentingan setempat, tetapi juga kepentingan yang lebih luas.
Masalah lingkungan hidup tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan semua bidang kehidupan, seperti hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, mental dan moral. Oleh karena itu masalah lingkungan hidup perlu dilihat dari berbagai sudut pandang dan ditangani secara serentak dan terpadu oleh semua pihak.
Kepedulian terhadap masalah lingkungan hidup merupakan suatu keharusan dan panggilan; sikap acuh tak acuh terhadapnya merupakan kejahatan, karena mengabaikan keselamatan umat manusia.
Gereja yang dipanggil untuk meneruskan kebaikan dan kasih Allah kepada umat manusia sadar bahwa menyelamatkan umat manusia dari kehancuran bumi adalah pelaksanaan perintah cintakasih.1 Dalam ensikliknya yang pertama, Redemptor Hominis2 Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa kepedulian terhadap lingkungan hidup adalah bagian hakiki dari Ajaran Sosial Gereja. Nota Pastoral KWI 2005, SAGKI 2005 dan APP 2008 mendorong seluruh umat dan semua pihak untuk menghadapi masalah lingkungan hidup dengan tindakan nyata. Kepedulian Gereja tidak terbatas pada himbauan dan arahan, tetapi juga dalam tindakan nyata dari Gereja setempat.
Saudari-saudara terkasih.
Penyebab kemerosotan mutu lingkungan hidup itu serumit segala kenyataan hidup. Tetapi penyebab utamanya adalah mentalitas mengejar kenikmatan sepuas-puasnya dan memiliki sebanyak-banyaknya. Mentalitas ini membuat orang tidak lagi mempedulikan Allah, kecuali dirinya sendiri; tidak lagi menghargai kehidupan dan menghalalkan secara cara. Sikap dan gaya hidup ini tidak peduli terhadap keutuhan lingkungan hidup dan keharmonisan ciptaan; tidak mau tahu bahwa bumi kita ini untuk semua manusia, termasuk generasi yang akan datang. Mentalitas serakah dan rakus ini hanya memikirkan bagaimana meningkatkan taraf hidup dan mengabaikan mutu hidup. Keinginan meningkatkan taraf hidup tidak ada salahnya; menjadi salah bila mutu hidup dikorbankan demi taraf hidup dalam bidang ekonomi.
Paus Yohanes Paulus II menyatakan3 bahwa krisis lingkungan hidup pada dasarnya adalah masalah moral. Oleh sebab itu pertobatan adalah suatu keharusan. Wujudnya adalah memperlakukan bumi dan segala ciptaan secara bertanggungjawab, karena alam semesta diciptakan oleh Allah demi kemuliaanNya dan kesejahteraan manusia.4
Saudari-saudara terkasih.
Masalah lingkungan hidup menuntut adanya tindakan nyata dari semua pihak. Pemerintah dan wakil rakyat harus berkiblat pada pelestarian alam, menghormati kearifan lokal dan berpihak pada rakyat; mengundang investor bukan hanya untuk peningkatan pendapatan daerah, melainkan sungguh untuk kesejahteraan rakyat. Para pengusaha harus mentaati peraturan, mempedulikan hak dan kesejahteraan masyarakat setempat; menghentikan pembabatan hutan dan penambangan secara liar; menjaga lingkungan agar pencemaran air dan udara tidak berlanjut. Para penegak hukum harus berani menindak tegas pengusaha yang tidak mentaati peraturan dan merugikan masyarakat. Orang tua dan pendidik menanamkan nilai-nilai cinta kehidupan kepada anak-anak sejak dini baik di rumah maupun di sekolah. Kita masing-masing tidak dapat menghadapi masalah besar ini sendiri, namun demikian apa yang bisa kita kerjakan harus kita mulai. Kita semua, tua-muda harus berani mengerjakan hal-hal yang sederhana seperti menjaga
kebersihan lingkungan rumah dan kampung, menanam pohon dan tanaman hias, melestarikan hutan rakyat.
Kita adalah bagian dari bumi, maka kita harus bertanggungjawab atas kelestariannya dan menjaganya agar semakin layak dihuni. Kalau bukan kita, siapa lagi, kalau tidak sekarang, kapan lagi; kalau tidak di tempat kita, dimana lagi?
Kerusakan lingkungan hidup sudah parah, tetapi kita tidak boleh patah semangat dan putus harapan. DI tegah-tengah kesuraman itu kita melihat tumbuhnya semangat persaudaraan dan rasa tanggungjawab sosial; adanya gerakan penanaman pohon secara nasional; tumbuhnya kesadaran untuk mencintai kehidupan dan alam serta mendekatkan diri pada Sang Pencipta yang menghendaki keselamatan seluruh ciptaanNya. Upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup, baik lingkup kecil maupun yang lebih luas harus diteruskan dan ditingkatkan kalau kita tidak menghendaki kehancuran menjadi lebih parah.
Saudari-saudara terkasih.
Kita perlu mawas diri dan bertobat, berani bertindak sesederhana apapun yang berguna bagi penyelamatan bumi kita dari kehancuran. Semoga Allah yang mahakuasa dan mahakasih memberkati kita semua yang peduli terhadap ciptaanNya.
Regio Gerejawi Kalimantan
Medio Desember 2007
Mgr. H. Bumbun, OFM.Cap (Uskup Agung Pontianak)
Mgr. Bl. Pujaraharja (Uskup Ketapang)
Mgr. Y. Mencuccini, CP (Uskup Sanggau)
Mgr. Agustinus Agus (Uskup Sintang)
Mgr. Fl. Sului, MSF (Uskup Agung Samarinda)
Mgr. F.X. Prajasuta, MSF (Uskup Banjarmasin
Mgr. A. Sutrisnaatmaka, MSF (Uskup Palangkaraya)
Mgr. Y. Harjosusanto, MSF (Uskup Tanjung Selor)
CATATAN :
(1) Bdk. Yohanes 13:34-35.
(2) 1979, bagian 15 dan khususnya bagian 16.
(3) Pesan Hari Perdamaian Dunia Januari 1990.
(4) Bdk. Katekismus Gereja Katolik 344.
Kekerasan Fisik dan Reorientasi Guru
Kekerasan Fisik dan Reorientasi Guru
Yohanes Sanaha Purba
"…pendidikan harus menanamkan tanggung jawab, kehormatan, tetapi tanpa menjadi beo atau bebek; anak harus dipimpin supaya berdiri sendiri." ("Karya Lengkap" Driyarkara, 2006 : 422)
Seorang teman menceritakan pengalaman traumatisnya semasa kecil sampai remaja, yang menjadi bagian tak terlupakan dalam sejarah hidupnya. Dia anak seorang guru teladan yang menerapkan sistem hukuman fisik dalam mendidik anak-anaknya di rumah. Karena sebagian besar anak di keluarganya laki-laki, perilaku orangtuanya semakin terwajarkan secara jender.
Dipukuli dan dibentak adalah makanan kami sehari-hari sejak umur lima tahun, bahkan sampai remaja lima belas tahun." Begitu ceritanya. Matanya yang marah seketika berubah menjadi berair mata saat dia mencoba menceritakan satu per satu kisah hidupnya.
Sekali lagi, yang terungkap dari ceritanya ialah mengenai kekerasan terhadap anak dan remaja yang masih terekam sempurna dalam memori seseorang yang telah dewasa.
Di tengah budaya masyarakat tradisional Indonesia, hukuman fisik dianggap mujarab dalam mengarahkan tingkah laku anak yang tidak sesuai dengan etika kebiasaan masyarakatnya. Dalam pengamatan penulis, sejarah pendidikan kolonial ikut pula terlibat dalam membangun pola pendidikan tradisional yang melegitimasikan aksi hukuman fisik, berupa suatu tindakan yang menyakiti secara fisik, dengan tujuan untuk menekan perilaku negatif seorang anak. Melalui itu dipercaya bahwa perilaku positif anak saja yang akan terbentuk.
Di Indonesia bagian timur, tipologi pendidikan warisan Belanda semacam ini bahkan masih aktif digunakan secara terbuka di tengah masyarakat. Ketika masih menjadi sukarelawan pendidikan di Papua bagian timur, penulis pernah menyaksikan sebuah aksi massal guru menghukum siswanya—berjumlah lebih kurang 20—dengan kayu rotan, yang dipukulkan secara bergilir di bagian punggung siswa. Sebuah pemandangan biasa di sekolah "orang timur".
Akar kekerasan
Menurut terminologi pemahaman Jawa, ’guru’ (baca: pendidik) diartikan sebagai sosok yang wajib digugu (dipatuhi). Melalui pemahaman inilah masyarakat menempatkan para guru atau pendidik sebagai sosok yang secara transedental memiliki kewibawaan yang berbeda dengan golongan masyarakat lainnya. Mirip dengan guru, posisi orangtua atau yang dituakan, seperti golongan ningrat dan pejabat pemerintahan, juga memiliki bentuk legitimasi kekuasaan yang sama. Sebuah legitimasi untuk menerapkan penghakiman dan distribusi sanksi sepihak tanpa proses yang demokratis.
Sangat tampaklah sebuah proses pemberian hak khusus kepada segolongan masyarakat tertentu (guru, orangtua, atau yang dituakan) dalam proses pendidikan seorang anak. Driyarkara menyebutnya sebagai kecenderungan pendidikan yang stato-sentris, di mana guru dijadikan sebagai pengontrol (controleur). Apa yang dilakukan anak hanya akan menjadi benar bilamana sesuai dengan yang diharapkan orang yang lebih dewasa. Anak belum memiliki cukup hak untuk berekspresi karena ekspresi akan dimaknai sebagai sebuah penyangkalan atau pemberontakan yang sifatnya merusak kelestarian nilai-nilai adiluhung.
Berpangkal dari pemikiran Erich Fromm yang menuding "ketakutan" sebagai akar dari "kekerasan", bolehlah dikatakan bahwa akar kekerasan dalam pendidikan ialah ketakutan yang muncul dari dalam diri seorang pendidik ketika secara eksistensial berhadapan dengan anak didiknya. Ada sebuah ketakutan akan perubahan sistem nilai yang telah terlestarikan. Ada pula ketakutan akan tergoyahnya apa yang dinamakan sebagai sebuah hegemoni ’kewibawaan’ dalam golongan masyarakat tertentu (guru, orangtua, dan yang dituakan) sebagai manifestasi masyarakat ’dewasa’.
Disorientasi psikologis anak
Tipologi psikologis seseorang sangatlah dipengaruhi oleh pembentukan diri orang tersebut di masa lalunya. Pengalaman masa lalu akan terus bertransformasi dengan pengalaman baru, dan secara imparsial akan membangun sifat-sifat khusus manusia.
Dalam bukunya A Child Called It, Dave Pelzer mengungkapkan tentang bagaimana kondisi psikologis dirinya merupakan bentukan berdasarkan pengalaman pahit psikologisnya di masa kanak-kanak. Dave menceritakan bagaimana kisah-kisah kekerasan yang dialaminya semasa kecil telah membentuknya sebagai pribadi yang "pincang".
Kekerasan selalu "melahirkan kekerasan". Disadari atau tidak, apa yang telah dilakukan oleh sistem pendidikan tradisional telah membentuk psikologi sosial masyarakat Indonesia yang saat ini sarat dengan kekerasan. Masyarakat Indonesia saat ini tentu sangat terbiasa dengan pola kekerasan bersampul pendidikan yang terimplementasikan melalui hukuman atau sanksi fisik: baik dalam komunitas sekolah, keluarga, maupun masyarakat tertentu.
Selain itu, kekerasan dan dominasi akan melahirkan pesimisme dan apatisme dalam sebuah generasi. Tindakan dan inisiatif yang tidak sesuai paradigma lama akan dituding sebagai faktor perusak harmonisme masyarakat; yang merusak akan dihukum. Selanjutnya, terjadilah sebuah proses ketakutan dalam diri anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif. Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada gambaran anak-anak sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut berbicara di muka kelas.
Reposisi orangtua dan guru
Kurikulum apa pun yang mencoba membangun generasi yang proaktif dan optimis tidak akan pernah efektif mencapai tujuannya apabila sistem hukuman fisik masih juga diimplementasikan dalam dunia pendidikan sekolah. Dalam wacana ini, penulis menawarkan solusi berupa reposisi orangtua dan guru dalam dunia pendidikan anak. Reposisi ini berupa perubahan signifikan pada paradigma masyarakat untuk mulai menempatkan guru ataupun orangtua dalam posisi yang setara dengan pribadi seorang anak.
Guru dan orangtua hendaknya menempatkan anak sebagai manusia yang memiliki keunikan-keunikan khusus. Keunikan anak tidak seharusnya dipahami sebagai sebuah kesalahan, melainkan aset bagi perkembangan anak itu sendiri. Kesadaran anak dibangun melalui komunikasi dialogis yang hangat, bukan melalui perintah-perintah dan larangan.
Bukan sikap dan perilaku anak yang harus diubah, tetapi bagaimana sikap dan perilaku tersebut akan lahir berdasarkan kesadaran anak itu sendiri. Dalam hal ini, anak diberi kesempatan untuk terus bertanya dan mengevaluasi secara kritis segala macam kebenaran etika atau keyakinan masa kini. Hanya melalui generasi yang kritislah etika-etika kontekstual dan yang peka pada zamannya yang akan lahir.
Sadarilah bahwa masa depan negeri ini ada di tangan anak- anak kita. Bagaimanakah bentuk masa depan nantinya akan sangat bergantung pada bagaimana kita memperlakukan anak- anak kita saat ini. Sudah saatnya kekerasan harus dinihilkan dalam dunia anak-anak kita bilamana kita mengharapkan sebuah imagined society seperti yang pernah dikatakan Benedict G Anderson.
Yohanes Sanaha Purba Peneliti Pendidikan Multikultural Komunitas English Clinic, Yogya
Kompas, 27 Oktober 2007 - kolom Humaniora