Minggu, 23 Desember 2007

Mengecup kening Manggarai Pada peristiwa Lonto Leok

Oleh Marsel Robot ]

BELUM lama ini sejumlah tokoh muda dari Manggarai yang datang dari berbagai latar belakang bertemu, atau sebut saja dalam istilah khas Manggarai, Lonto Leok (duduk keliling untuk bermusyawarah) mempercakapkan sekitar pemekaran Kabupaten Manggarai. Hadir intelektual muda Dr. Kamelus Deno yang hampir seluruh tuturannya dituntun oleh perspektif ilmu hukum yang tekuninya, ada filsuf muda Sipri Nejang yang begitu bernafsu memberikan eksplanasi fenomena pemekaran Manggarai dari jurusan filsafat budaya, ada politisi Muda Pius Rengka yang pandai berlogika dengan cara jenaka, ada birokrat muda Dil Masman yang sering mengambil kesimpulan pendek yang kering tapi surprise, ada John Buang birokrat muda yang sering mengguncang kekukuhan pendapat orang, ada Frans Sarong, wartawan Kompas yang tampak sebagai gatekeeper (pejaga gawang) pikiran dan rajin merapikan agenda-agenda wacana yang menarik, dan ada pula anggota DPRD I NTT yang juga masih muda, Alo Basri yang cukup fasih berargumentasi. Bahkan, ada tamu politisi muda, Kanis Pasar yang lazimnya berwibawa dan terkesan bahwa di bawah pandangannya orang merasa teduh. Inilah suatu peristiwa lonto leok yang menarik dan dinamik di mana sekian orang itu menggerus wacana tentang pemekaran Manggarai. Sebut seja peristiwa lonto leok ini mengandaikan kecupan romantis dari sejumlah tokoh muda buat tercinta negeri Bere Lele Benggong itu.

Dan demi solidaritas kepada teman-teman ini saya diajak ikut menjual tampang di sana. Meski saya sungguh tak mampu untuk berpose seperti itu. Karena itu, saya ingin mengambil posisi korona (cahaya di pinggir matahari), dan selalu menjadi seorang pendengar serius, atau paling tinggi memberikan catatan kualitatif seperti ini. Sebab, bukankah kerja mendengarkan jauh lebih berat daripada memperdengarkan, apalagi bagi orang Manggarai?

Sebagai catatan kualitatif, maka saya berusaha menghindari catatan yang bersifat numeria (pengukuran dengan angka) semisal berapa kilogram beras, gula, kopi yang dihabiskan dalam pertemuan itu, saya juga tidak mencatat, seberapa liter minyak tanah yang dihabiskan untuk menanak nasi, dan berapa banyak frekuensi lalu lalang orang-orang di dapur dari kamar belakang ke kamar depan sepanjang pertemuan dilangsungkan. Meski amat dipahami bahwa resiko yang paling jelas dari semua jenis pertemuan apa pun, di mana pun dalam skala apa pun, apalagi dalam peristiwa lonto leok adalah urusan makan-minum itu.

Apa yang mengoda saya untuk menulis catatan kualitatif ini ialah pertama, sejumlah gagasan yang berserakan, dan wacana melompat kian kemari di ruang pertemuan. Mereka begitu asyik mempercakapkan banyak hal dari status hukum rekomendasi Bupati Manggarai Anton Bagul atas rencana pemekaran, peluang pemekaran Manggarai atas tiga kabupaten baru, potensi dan sumber dana yang diperlukan, jalur politik yang perlu dilalui dalam proses percepatan pemekaran. Kesimpulan pun berguguran, dan wacana meranggas tak karuan. Mungkin itulah akibat wajar dari keragaman latar belakang profesi orang yang datang dalam pertemuan itu. Dengan demikian, variasi gagasan justru menentukan kualitas kebenaran suatu wacana. Atau mungkin ini hanya resiko akademis dari sebuah pertemuan yang tidak dipimpin dengan baik. Memang sulit dihindarkan, bias dan deviasi pemikiran yang merepotkan notulen untuk menurunkan kesimpulan yang mentereng.

Kedua, bagi saya, pertemuan itu bukan pada hasilnya, tetapi pada pertanyaan mengapa angkatan muda itu bertemu. Apakah pertemuan itu hanya merupakan pelampiasan akan rasa rindu pada Manggarai yang jauh kepe ali kebe, panggu ali watu (dipele oleh tebing dipele oleh batu), lalu melakukan semacam investasi pemikiran demi pemekaran Manggarai? Setidaknya, isu itulah yang menyatukan mereka untuk mengecup kening Manggarai dengan cara mereka.

Sebetulnya, pertemuan itu hanya berusaha meluaskan area perspektif dari sekian kali pertemuan angkatan muda dari Manggarai Timur yang sering melabeli diri sebagai kelompok diskusi nilok nai yang diprakarsai oleh Frans Sarong, Kosmas Lanang, Dil Masman, Bene Tuluk, Yatis Seran dengan kawan-kawan. Istilah nilok nai yang diambil sebagai nama kelompok studi dapat dipadankan sebagai kesadaran yang muncul pada diri seseorang atau sekelompok orang lantaran dimarjinalkan atau disepelekan untuk bekerja sangat giat guna mencapai berprestasi.

Kelompok diskusi nilok nai menatap pemekaran sebagai suatu hipotesis tak berujung. Ada semacam rasa gunda yang tak tertahankan. Sebab, jangan-jangan pemekaran Manggarai hanya memindahkan konflik politik yang selama ini hanya dimonopoli oleh Ruteng. Khawatir pula kiblat kebudayaan berantakan, dan tradisi lonto leok (musyawarah untuk mufakat) menjadi rongsokan yang hanya disimpan dalam kamar nostalgia, mbaru wunut (rumah adat Manggarai) mulai sepi dan menyendiri. Karena itu, dalam proposal yang mereka susun, konon menurut rencana akan dikirim untuk bupati dan DPRD Manggarai dirumuskan beberapa statemen antara lain: (1) Pemekaran jangan menjadi medan perebutan kekuasaan yang hanya menyediakan lahan subur buat mempersemaikan benih ego sosial dan ego politik yang berpotensi konflik. Atau dalam istilah khas Manggarai, jangan sampai usaha pemekaran hanya memprodukan pa'u pakul rengus ranga (konflik) di antara orang Manggarai. Akan tetapi, sebaliknya, pemekaran Manggarai menjadi tiga kabupaten harus diterima dalam perspektif pembangunan untuk memajukan Manggarai dalam segala bidang pembangunan sogho le mas pusu agu daron tuka (karena merasa tertinggal); (2) pemekaran harus tetap mempertahankan kekhasan Manggarai sebagaimana wuat agu pede dise embo (amanat leluhur): awon Wae Mokel salen Selat Sape (batas Timur Wae Mokel hingga batas Barat Selat Sape), dam mbaru wunut (rumah adat Manggarai) tetap menjadi titik kiblat organ-organ kebudayaan dan keseluruhan ciri kemanggaraian; (3) Pemekaran Manggarai hendaknya dipahami dalam konteks batas wilayah pemerintahan, bukan pembagian wilayah yang memunculkan pengklaiman yang egoistik dan cenderung streotip. Karena itu, mereka menyarankan siapa pun putra-putri Manggarai terbaik mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memimpin di tiga wilayah pemekaran itu; (4) aksentuasi pemekaran adalah usaha mendekatkan pelayanan pembangunan. Artinya, pemekaran itu penting dalam rangka mendekatkan pelayanan pembangunan, tetapi yang terpenting ialah bagaimana tiga pemda itu nanti menunjukkan sikap nai sa anggit tuka sa leleng (bersatu secara kukuh) untuk menggotong Manggarai yang telu leleng ca (tiga dalam satu) menuju bendar (kemajuan).

Namun, yang kini samar dan pada saatnya nanti menjadi amat realistik ialah sindroma politik siapa mendapat apa. Kaum oportunis sibuk bergerilia mencari celah dan memperhitungkan setiap jengkal kemungkinan untuk meraih peluang. Jika cita-cita pemekaran terperosotkan dalam rongsokan ambisi itu, maka Manggarai akan berubah menjadi sekadar gula raksasa yang setiap semut pendamba jabatan dan perindu kekuasaan ingin menikmati manisnya kekuasaan. Dengan kata lain, pemekaran Manggarai sesungguhnya hanyalah sekadar menginvestasikan pa'u pakul rengus ranga (konflik) yang menyebabkan bengkas kear (perpecahan). Padahal, yang diamanatkan ise embo agu nusi (leluhur) ialah ramba naik sa anggit tuka sa leleng (bersatu dan kukuh) ramba duat ngara pe-an uma sama rangka lama, wee ngara see beo sama rege ruek (kemesrahan dan kebersamaan di mana pun berada)

*Penulis adalah;Dosen FIKIP UNDANA Kupang


Sumber; POS KUPANG HALAMAN 4

Edisi: Rabu, 07 Agustus 2002








1 komentar:

http://Adi-Lambert.blogspot.com mengatakan...

mari kita menyambut pesta Paskah, kebangkitanNya membuat kita semua
menjadi baru dan diperbaharui
- Bila pagi hari mentari boleh bersinar itu anugerah,
bila Kristus rela mati untuk kita itu karena kasihNya
kepada kita dan sebentar lagi Ia akan bangkit, itulah kemenangan
kita. mari kita sambut pesta paskah dengan nai nggeluk dan saling memafkan , kasih Kristus senantiasa bersama
kita ~~~~~~ Tabe buat semua umat katholik di manggarai tercinta...